
Bilebante pernah dijuluki “Desa Debu” akibat maraknya kegiatan tambang pasir. Pelan tetapi pasti, Bilebante bertransformasi menjadi salah satu desa wisata terbaik di Indonesia. Pencapaian itu tidak lepas dari kegigihan seorang Pahrul Azim.
Penambangan pasir telah berlangsung di Bilebante, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, sejak 1990-an. Puluhan hektar lahan baik sawah maupun kebun di desa itu berubah menjadi tambang pasir. “Kendaraan pengangkut pasir setiap hari keluar masuk desa. Akibatnya, jalan rusak parah. Banyak lubang dan debu. Dari sana, Bilebante dijuluki ‘Desa Debu,” tutur Pahrul Azim saat ditemui pada Senin (7/6/2021).
Khawatir semakin banyak sawah dan perkebunan yang dijadikan tambang pasir, Pemerintah Desa Bilebante yang dipimpin Rakyatul Liwaudin mengeluarkan peraturan desa (perdes) tentang penambangan pasir pada 2007. Perdes itu membuat penambangan pasir berkurang. “Kegiatan itu baru benar-benar berhenti pada 2016 ketika Desa Wisata Hijau Bilebante diluncurkan secara resmi,” kata Pahrul.
Bilebante saat ini menjadi desar wisata penyangga Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, destinasi superprioritas yang akan menggelar balapan MotoGP. Bilebante menawarkan potensi alam, budaya, kuliner, hingga kearifan lokal warganya untuk pariwisata. Banyak turis mengunjungi desa ini, termasuk turis dari Inggris, Portugal, Spanyol, Jerman, Meksiko, Perancis, dan Kiribati. Mereka senang diajak bersepeda keliling desa dan persawahan, mengikuti kelas memasak, kelas terapi kebugaran, hingga berkebun tanaman herbal.
Jalan panjang
Cikal bakal Bilebante sebagai desa wisata dimulai pada 2014 ketika Pemerintah Provinsi NTB membuat program Pijar, akronim dari sapi, jagung, dan rumput laut. Salah satu kegiatannya ialah pelatihan bagi 300 orang perwakilan usaha mikro, kecil, dan menengah. Salah satu peserta yang berhasil adalah Hj Zaenab dari Koperasi Wanita Putri Rinjani Bilebante. Ia membuat olahan rumput laut yang menarik banyak orang untuk belajar, yang sekali datang bisa puluhan orang.
Dari sana, Pahrul melihat peluang. “Saya berpikir, kenapa kunjungan sehari saja. Seharusnya bisa lebih lama sehingga pengeluaran mereka juga makin banyak yang berdampak kepada masyarakat,” ujar Pahrul.
Pada 2015 ia mengikuti lokakarya tentang desa wisata. Dari sana, ia berkenalan dengan sejumlah pihak yang menunjukkan betapa Bilebante punya potensi besar sebagai desa wisata. Namun, ia awalnya ragu. “Saya pikir desa wisata identik dengan pantai, gunung, atau air terjun. Bilebante tidak punya itu, hanya ada lubang bekas tambang,” ucapnya.
Meski begitu, Pahrul tidak lantas mundur. Ia terus belajar tentang desa wisata. Bersama komunitas yang ia inisiasi, Pahrul memberanikan diri mendaftarkan Bilebante sebagai salah satu desa binaan wisata. Gayung bersambut, Bilebante lolos sebagai satu dari tiga desa binaan GIZ.
Warga didorong belajar menganalisis potensi yang ada di desanya. Dari situ ditemukan beberapa potensi wisata di desa itu, antara lain pura tertua di Lombok Tengah, Sumur Jodoh, Gong Gress, Lembah Gardenia yang dahulunya bekas galian tambang pasir, dan berbagai kerajinan.
Bilebante mulai menawarkan paket wisata pertama, yakni bersepeda keliling desa. Pahrul ingat sekali saat itu, mereka belum punya sepeda sehingga harus meminjam ke banyak tempat.
Tahun 2015, warga membentuk Kelompok Sadar Wisata Desa Wisata Hijau (DWH) Bilebante. Pahrul ditunjuk sebagai ketua. Tahun berikutnya, DWH Bilebante diluncurkan secara resmi. Pahrul didukung penuh Kepala Desa Bilebante Rakyatul Liwaudin.
Proses itu tidak berjalan mulus. Saat penyusunan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Desa Wisata Bilebante, perdebatan alot terjadi. Sebagian warga tidak setuju Bilebante menjadi desa wisata karena pariwisata masih dikonotasikan negatif oleh warga. “Kami berusaha meyakinkan mereka bahwa siapa saja boleh datang, asal mau mematuhi norma-norma yang berlaku di desa,” kata Pahrul.
Singkat cerita perdes itu akhirnya disepakati. Pahrul dan tim bergerak cepat menyusun program wisata. Namun, tekanan datang dari pengusaha tambang pasir. “Sebagai ketua kelompok sadar wisata dan petugas di desa, saya menjadi sasaran intimidasi dan suap dari para pengusaha tambang pasir,” ujar Pahrul.
Mereka, lanjut Pahrul, menginginkan Perdes Bilebante Nomor 3 Tahun 2016 diubah. Dalam perdes itu ditetapkan salah satu potensi DWH Bilebante ialah hamparan sawah. Padahal, sawah diincar oleh pengusaha pasir sebagai tambang pasir. Pahrul bergeming. Ia menolak tawaran uang puluhan juta rupiah dari para pengusaha pasir. Ia terus bergerak dengan paket-paket baru untuk wisatawan, termasuk Pasar Pancingan yang belakangan membuat Bilebante populer.
Kerja keras Pahrul dan warga berbuah manis. Pada 2017, Bilebante mendapatkan penghargaan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai desa terbaik dalam ajang Desa Wisata Award 2017. Bilebante dinilai mampu menggerakkan perekonomian lewat desa wisata.
Saat ini tidak ada lagi jalan berdebu di Bilebante. Jalan utama desa telah diaspal mulus. Ekonomi warga juga turut menggeliat seiring dengan terus bergeraknya sektor wisata di sana. Hal ini menumbuhkan kepercayaan warga. Mereka yang sebelumnya pesimistis mulai ambil bagian dalam kegiatan desa wisata.